Kemiskinan selalu menjadi isu sentral dalam kehidupan masyarakat. Salah satu pemikiran yang keliru tentang kemiskinan adalah anggapan kemiskinan sebagai sebuah nasib. Psikiater Amerika Serikat, Milton Erickson mengatakan bahwa masa lalu dan pengalaman seseorang membentuk paradigma berpikir. Jika seseorang dibesarkan dalam lingkungan yang mengkerdilkan pikirannya sebagai orang miskin, maka semakin kuat anggapan dan keyakinannya bahwa sudah nasibnya untuk menjadi miskin. Oleh sebab itu, kita perlu keluar dari jebakan mental block dengan merubah pikiran yang membentuk respon dan tindakan kita atas masalah kemiskinan sesuai dengan nilai-nilai kekristenan.
Bacaan Alkitab kita hari ini memiliki latar belakang Yakub yang diberkati Ishak sebagai anak sulung. Yakub telah menerima semua berkat Esau. Ishak mengatakan kepada Esau, "maka kepadamu, apa lagi yang dapat kuperbuat, ya anakku?" Ishak bahkan mengatakan kepada Esau bahwa Esau akan hidup dari pedangnya dan akan menjadi hamba Yakub. Namun demikian, apabila Esau berusaha sungguh-sungguh, maka ia dapat melemparkan kuk itu dari tengkuknya. Dari apa yang dikatakan Ishak kepada Esau, kita mengerti bahwa bagaimana seseorang merencanakan, mengusahakan, dan menjalani hidupnya adalah katalisator terbesar apakah mereka akan hidup berkecukupan atau berkekurangan. Dengan begitu kita dapat sepakat bahwa kemiskinan bukanlah nasib, genetik atau warisan. Latar belakang keluarga, pendidikan, dan lingkungan tidak selalu menentukan dimana kita akan berakhir. Keputusan yang kita buat hari ini untuk merubah mindset, bekerja keras, menabung, berinvestasi, dan memberi, menentukan kisah kita di masa depan. Tuhan kita adalah Tuhan yang berdaulat, dan Ia telah memilih untuk memberi kita kehendak bebas, dimana hukum sebab-akibat adalah sebuah kenyataan. Oleh sebab itu, hidup berhasil dan berkecukupan perlu diusahakan, karena ada upah bagi setiap usaha yang kita lakukan. [LS]