Setiap manusia pernah diperhadapkan dengan penderitaan. Ada penderitaan yang Tuhan izinkan terjadi untuk memurnikan kita. Juga ada penderitaan yang diakibatkan oleh karena dosa yang kita perbuat, seperti harus dipenjara karena ketahuan korupsi, dikucilkan karena hamil di luar nikah, dan berbagai konsekuensi yang buruk akibat kesalahan sendiri. Keadaan ini merupakan sesuatu yang wajar. Alkitab sendiri memberitahu bahwa ada orang-orang menjadi sakit oleh karena kelakuan mereka yang berdosa, dan disiksa oleh sebab kesalahan-kesalahan mereka. Hal Ini seharusnya cukup mengajar kita untuk mawas diri dengan dosa. Dosa selalu beriringan dengan penderitaan.
Setiap kita tentu tak bisa mundur dan mengubah masa lalu, di mana kita telah membuat kesalahan. Tetapi syukur karena Tuhan memberi pengharapan, termasuk bagi tiap orang yang telah mengacaukan hidupnya sendiri karena dosa. Firman-Nya, "Di manakah ada Allah seperti Engkau, yang mengampunkan dosa-dosa orang yang tersisa dari antara umat-Nya? Engkau tidak terus-menerus murka terhadap umat-Mu karena Engkau suka berbelas kasihan." (Mikha 7:18). Melalui pengampunan-Nya, setiap kita bisa mulai hidup baru dan meninggalkan masa lalu. Kasih-Nya mampu menjangkau setiap kita yang telah melukai hati-Nya sekalipun. Meski demikian, setelah menerima pengampunan-Nya, konsekuensi adalah bagian yang tidak bisa kita tolak. Konsekuensi yang tentu saja mendatangkan rasa sakit harus dihadapi. Seperti yang disampaikan oleh Mark Manson dalam bukunya mengatakan bahwa kita perlu menjadikan rasa sakit sebagai teman kita. Dalam artian, kita perlu belajar bagaimana memiliki masalah yang "baik". Kita bisa memutuskan untuk belajar dari kesalahan tersebut, menghargai pengalaman tersebut. Melalui rasa sakit akan kesalahan, kita di dorong untuk menjadi pribadi yang lebih baik, sehingga ke depannya kita tak lagi jatuh di lubang kesalahan yang sama. [RS]