Spiritual narcissism adalah sebuah fenomena dimana seseorang menjadi sombong rohani dan memiliki perasaan superior dalam hal-hal spiritual atau rohani dibandingkan orang-orang sekelilingnya. Perilaku ini mempunyai berbagai ciri-ciri yang dapat terlihat dari egonya dalam menunjukan pencapaian-pencapaian rohani kepada orang lain, bangga atas kebaikannya, sering menghakimi orang lain dan menjatuhkan seseorang lewat perkataannya. Spiritual narcissism terjadi dari zaman Yesus hingga sampai hari ini.
Dalam Alkitab, kita dapat menemukan cerita-cerita tentang orang Farisi yang sering menghakimi orang lain, bahkan Yesus. Mereka mengajari orang dan merasa telah melakukan hukum taurat, padahal sebenarnya tidak. Sifat narsis mereka sebagai pemuka agama membuat mereka merasa benar dan paling suci, di balik dosa-dosa yang mereka lakukan (Matius 23:3). Menariknya, dalam Lukas 19:1-10, tidak disebutkan bahwa hanya ahli taurat bersungut-sungut, melainkan "semua orang" (ayat 7). Padahal Yesus datang kepada Zakheus dengan kasih yang tulus, sehingga terjadi keselamatan untuk seisi rumah itu. Dari cerita ini kita mendapat sebuah peringatan, bahwa siapapun berpotensi untuk mengalami kenarsisan rohani. Sifat ini dapat muncul ketika kita melakukan kebaikan, dan ada perasaan bahwa itu merupakan usaha kita. Sehingga kita merasa lebih hebat dibandingkan orang lain yang tidak melakukan apa yang kita lakukan. Dalam segala hal yang kita perbuat, kita selalu dapat menentukan motivasi hati kita, apakah kita berorientasi pada kemuliaan Tuhan atau bagi diri kita sendiri. Sangat penting bagi kita untuk berjaga-jaga setiap waktu agar hati dan pikiran kita tidak dikuasai oleh rasa narsis. Segala perbuatan baik yang kita lakukan harus didasari oleh kasih, dan sesungguhnya tidak ada yang dapat kita banggakan. Karena segala sesuatu yang baik, berasal dari Bapa, dikaruniakan kepada kita secara cuma-cuma. Kita sudah dimenangkan oleh Tuhan terlebih dahulu, dan sekarang waktunya kita memuliakan Tuhan melalui kasih yang sesungguhnya. [KH]