Sebagian psikiater dan dokter menyatakan bahwa rasa bersalah atau penyesalan yang tidak diselesaikan adalah faktor terbesar dalam gangguan mental atau bunuh diri. Sebagai orang percaya, rasa bersalah itu terutama datang ketika kita melakukan dosa. Dosa membuat hubungan kita dengan Tuhan menjadi rusak. Kita jadi tidak nyaman berdoa, membaca Alkitab, bersekutu dengan sesama orang percaya dalam komunitas, karena ada dosa yang tidak diselesaikan. Kita pun akan semakin terpuruk ketika dosa masa lalu kita terungkit kembali.
Menyimpan perasaan bersalah karena dosa yang pernah kita lakukan adalah beban yang berat bagi setiap manusia. Intimidasi rasa bersalah setelah berbuat dosa merupakan efek dari perbuatan yang tidak berkenan kepada Allah. Bahkan dalam Mazmur 38:4 Daud berkata, "sebab kesalahanku telah menimpa kepalaku; semuanya seperti beban berat yang menjadi terlalu berat bagiku." Rasa bersalah itu menghantui Daud setelah ia melakukan dosa perzinahan dan pembunuhan. Tapi melalui Mazmur Daud, kita juga melihat selalu ada secercah harapan bagi kita di dalam Kristus. Setiap pemulihan harus diawali dengan pengakuan. Di balik suatu pengakuan, ada sebuah niat untuk memperbaiki. Mengakui dosa sebenarnya merupakan penyerahan diri bahwa kita tidak mampu sendiri menghadapinya. Rasa bersalah akan hilang ketika kebenaran terungkap, sehingga apa yang membelenggu pikiran kita akan terlepas. Ketika dosa kita diampuni oleh-Nya, Ia tidak lagi mengingat-ingat apa yang telah kita lakukan. Jika Allah saja sudah menghapuskannya bagi kita, mengapa kita terus dibelenggu olehnya? Setiap dosa kita sudah ditebus oleh Yesus di kayu salib. Tuhan kita adalah Tuhan yang Maha Mengampuni. Akui, dan mintalah anugerah-Nya untuk memulihkan setiap rasa malu dan bersalah yang kita pikul. Sehingga, hubungan yang sehat dan indah akan terbentuk antara kita dengan Bapa di Sorga tanpa ada lagi bayang-bayang dosa. [KH]