Manusia secara natural merupakan makhluk sosial sejak lahir. Bahkan ketika seorang bayi lahir, ia sudah menunjukkan tanda kebutuhan untuk terhubung dengan orang tuanya lewat sentuhan dan perhatian. Sehebat apapun seseorang bertahan dalam kesendirian, pasti ada satu titik di mana perasaan kesepian bisa datang. Namun pada kenyataannya, manusia semakin jauh satu dengan yang lain di era yang semakin bergantung dengan teknologi. Kenyataan ini membuat manusia semakin bersikap acuh tak acuh terhadap orang lain, dan hidup bagi dirinya sendiri.
Rasul Paulus mempunyai cara hidup yang dapat kita teladani dalam membangun hubungan yang sehat terhadap sesamanya. Jika kita memperhatikan perjalanan pelayanan Paulus, hidupnya dipenuhi dengan banyak orang. Sampai pada satu titik ia dipenjara pun, ia tetap melakukan aktivitas surat menyurat kepada jemaat-jemaat yang ia rintis dan gembalakan. Ia bahkan mengingat nama-nama mereka dan memberikan sapaan melalui surat-suratnya. Kita bisa melihat dampak yang ia berikan melalui pelayanannya. Bukan hanya banyak orang yang diberkati, tetapi orang-orang yang ia layani juga memberikan kekuatan baginya dan mendatangkan sukacita kepada Paulus saat ia melewati tekanan yang berat. Kita melihat ada timbal balik yang positif yang dimulai dari sikap Paulus yang tidak hidup bagi dirinya sendiri. Banyak hal yang ia korbankan, dan jerih payah yang harus dilewati dalam pelayanannya. Dari sini kita bisa melihat sebuah contoh, pentingnya membangun hubungan dan sikap rela berkorban dapat membuat hidup seseorang menjadi bermakna, atau biasanya disebut "contentment" (penuh secara batiniah). Di zaman yang semakin individualis ini, jangan biarkan nilai-nilai kita sebagai anak Tuhan untuk menjadi terang tergerus. Bangunlah hubungan dengan sikap rela berkorban, layanilah seorang akan yang lain, sesuai dengan karunia dan kapasitas yang Tuhan telah berikan bagi kita dengan kasih Tuhan. [KH]