Sosok William Shakespeare sangat melegenda di berbagai penjuru dunia. Meski ditulis ratusan tahun yang lalu, karya-karyanya tetap relevan hingga sekarang. Salah satu yang mendasari semua drama Shakespeare adalah jeritan-jeritan kepedihan. Jeritan-jeritan pedih tersebut uniknya menunjukkan kepercayaan pada sang Mahakuasa. Sang Mahakuasa yang turut terlibat dalam berbagai keadaan manusia, seperti, "Mungkinkah Engkau, ya Tuhan, meninggalkan domba-domba yang begitu lembut dan melemparkan mereka ke perut serigala?", "Tidurkah Engkau ketika perbuatan seperti itu dilakukan?", "Ya, Tuhan, Kau lihatkah ini, dan tetap diam begitu lama?" Berbagai jeritan itu menggambarkan keadaan kita di tengah kelamnya hidup. Kita pun kerap melontarkan pertanyaan serupa kepada Allah ketika tengah menderita. Ayub sendiri mengalaminya. Ia sempat tenggelam dalam penderitaan yang membuatnya fokus pada barah dari telapak kaki sampai ke kepalanya. Namun, keadaan itu tak menyurutkan iman percayanya di tengah perjalanan hidupnya, sekalipun awalnya tidak ada titik terang.
Kepercayaan kita tidak boleh tergantung pada keadaan. Memang sulit memahami bukti penyertaan Tuhan di tengah penderitaan sebagai realita hidup. Tetapi kita bisa melihatnya dalam terang Firman Tuhan. Segelap apa pun keadaannya, bahkan sekalipun tidak ada cahaya yang bersinar bagi kita, janji Firman-Nya mengarahkan kita, "Baiklah ia percaya kepada nama Tuhan dan bersandar kepada Allahnya!" Jangan kita lupa bahwa Allah memandang kita dengan penuh kasih di sepanjang pengalaman yang mengecewakan dan berbagai kesulitan hidup kita. Kita hanya perlu menyadari dan menerima keberadaan hidup kita yang sesungguhnya. Tidak perlu berpura-pura baik-baik saja. Sebaliknya, nantikanlah Tuhan dan bersandarlah sepenuhnya kepada-Nya! Tuhan akan bekerja! [RS]