Kita tidak dapat lari dari kenyataan hidup. Cepat atau lambat, kita harus siap menghadapi kehilangan orang yang kita cintai, entah itu pasangan hidup, kedua orang tua, anak-anak kita, atau orang lain yang sangat kita cintai dalam hidup. Rasa sedih dan duka yang mendalam pasti tak terhindarkan. Ada yang menyimpan rasa duka hingga bertahun-tahun, dan tak henti bertanya mengapa Tuhan memanggil mereka. Dalam beberapa kasus khusus, ada yang berusaha keras mendapatkan kepastian dengan cara merasionalkan keputusan Tuhan dan memasukannya ke dalam kerangka berpikir manusia.
Persoalannya adalah ketergantungan. Banyak orang percaya menyimpan kekecewaan dan menjadi pahit hidupnya sepeninggalan orang-orang yang dicintai, karena mereka telah membangun hidup di atas dasar orang yang mereka cintai. Tuhan telah bermurah hati memberikan keluarga dan orang-orang baik di sekitar kita, tapi kita tidak boleh bergantung pada keberadaan mereka. Teladan dalam mencintai seseorang adalah Abraham dan Ishak. Abraham sampai di titik rela mengorbankan harta yang paling dikasihinya, yaitu anaknya. Walaupun sulit, tapi saat kita dengan ikhlas melepaskan kepergian seseorang, kita telah belajar untuk meletakkan Kristus di antara hubungan kita dengan orang-orang yang kita cintai. Ini artinya, Tuhanlah yang berhak mengatur hubungan kita satu sama lain. Ini sekaligus dapat menjadi penjelasan Yesus dalam Lukas 14:26, kita tidak bisa sepenuhnya mengikut Yesus apabila kita lebih mengasihi orang tua, pasangan, anak-anak, dan saudara-saudara kita. Jadi serahkanlah keluarga kita dan orang-orang yang kita cintai ke dalam tangan Tuhan. Bagi orang percaya, kematian sejatinya tidak boleh menimbulkan kesedihan yang berlarut-larut, apalagi kekecewaan. Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil, terpujilah nama Tuhan! [LS]