Malam Natal 1914 berlangsung saat Perang Dunia I, dan demi perayaan Natal tersebut, gencatan senjata pun terjadi. Suara tembakan senapan dan peluru yang meledak memudar. Di tengah-tengah malam Natal yang dingin, terdengarlah sebuah lagu Natal. Tidak diketahui siapa yang memulainya, namun nyanyian itu membuat suasana yang beku menjadi cair dan memberikan kesan bahwa permusuhan telah mereda. Suasana itu bahkan berlanjut dengan kedua belah pihak yang berperang makan bersama, bermain sepak bola, saling memperlihatkan foto-foto, dan mengubur tentara yang gugur. Sejarah mengenal kisah ini sebagai "Christmas Truce" di mana kedamaian terjadi.
Natal mengingatkan kita akan makna kelahiran Yesus. Sejatinya kehadiran Yesus membawa kedamaian bagi setiap kita, sebab seorang Anak yang telah lahir untuk kita itu adalah Raja Damai (Yesaya 9:5). Kelahiran-Nya yang jauh hari sebelumnya telah dinubuatkan oleh Nabi Yesaya itu, menggenapi janji Tuhan akan datangnya seorang Raja Damai. Itu artinya kericuhan apa pun bentuknya di bumi ini, ada jalan untuk bisa diselesaikan dengan hadirnya Sang Raja Damai. Yesus telah menjadi jalan perdamaian antara kita dengan Tuhan. Kedamaian itu pula sepatutnya menjadikan kita sebagai anak-anak-Nya yang menjadi pembawa damai (Matius 5:9). Maka di mana pun kita berada dan ditempatkan, di situ pula seyoiganya damai Kristus dirasakan melalui hidup kita. Natal ini, marilah kita merefleksikan damai Kristus dalam kehidupan ini. Adakah suasana yang membekukan hubungan kita? Apakah kita masih sanggup mengasihi orang-orang yang membenci kita? Apakah kita bisa tersenyum kepada mereka, atau apakah kita pernah menghampiri orang yang hatinya tertutup bagi kita? Ingat bahwa Natal adalah hadirnya Raja Damai di hati dan hidup kita! [RS]