George W. Bush, presiden ke-43 AS, meninggalkan Gedung Putih pada 20 Januari 2009 setelah menjabat dua periode. Dalam wawancaranya kepada Texas Monthly, Bush mengungkapkan apa yang dilakukannya saat bangun pagi pada hari pertama sebagai warga biasa di kediamannya sendiri, ia minum kopi sambil membaca koran. Setelah tidak menjadi presiden, Bush bahkan tak tertarik sama sekali dengan dunia politik, seperti yang diungkapkan James Glassman, mantan Direktur Institut George W. Bush. Bush kini sering menggelar pesta barbekyu bersama tetangga, main golf, dan mengendarai sepeda gunung. Sesekali ia pergi ke Afrika, di mana ia mendirikan yayasan untuk merenovasi rumah sakit dan mengembangkan program dalam memerangi kanker serviks. Pendek kata, Bush tidak mengalami apa yang disebut sebagai Post-Power Syndrome setelah kembali menjadi warga biasa. Gejala Post-Power Syndrome (PPS) dapat menimpa siapa saja yang memasuki masa pensiun, atau tidak lagi aktif di dunia kerja atau pelayanan. PPS biasanya terjadi ketika orang tersebut tidak mempersiapkan diri ketika segala atribut yang melekat pada dirinya harus dilepas, seperti jabatan, kekuasaan, dan karier. Salah satu kunci mengatasi PPS adalah memahami posisi pekerjaan atau pelayanan dalam hidup kita. Kita dapat meneladani Yohanes Pembaptis dalam memaknai pelayanannya. Para muridnya mendesak Yohanes untuk mengambil suatu tindakan karena menurut mereka "pelayanan dan popularitas" Yohanes Pembaptis mulai merosot oleh kehadiran dan pelayanan Yesus (Yohanes 3:25-26). Meskipun didesak, Yohanes meresponsnya dengan benar. Ia tidak terpancing untuk menganggap Yesus sebagai saingan. Ia mengerti benar posisinya sebagai "sahabat mempelai laki-laki" dan tujuan pelayanannya. Hidupnya bukan ditakar dari pelayanannya, melainkan dari hubungannya dengan Yesus. Begitupun dengan kita. Makna kehidupan ini bukan dari kekuasaan, jabatan, dan karier, melainkan dari hubungan kita dengan Tuhan.